6/06/2008

EKSPRESI HUMANISME, INDIVIDUALISME

EKSPRESI HUMANISME, INDIVIDUALISME
DAN KOSMOPOLITANISME
(DARI PARADIGMA ISLAMIC CULTURE KE ISLAMIC SOCIETIES)
Oleh : Muhammad Hambali, S.HI


A. Pendahuluan
Islam sebagai agama universal, eksistesinya membawa visi Rahmatan Lil Alamiin. Diturunkannya Islam di Jazirah Arab pada dasarnya tidak terlepas dari kondisi umat pada waktu itu yang jauh dari peradaban yang berdiri di atas sistem kelas, eksploitasi kaum minor, non egalitarian, serta jauh dari nilai-nilai kemanusiaan (humanisme).
Adalah menjadi pemahaman umum bahwa Arab pra Islam kontruksi masyarakatnya berdiri atas nilai kesukuan yang rigit, sistem patriarkhi dan eksploitasi terhadap sesama manusia. Datangnya Islam di tempat tersebut melalui tangan Muhammad, seakan memberikan angin segar terhadap tercapainya perubahan sistem masyarakat yang berdiri atas egaliterianisme, keadilan dan prinsip humanisme. Eskpresi akan nilai-nilai tersebut pada akhirnya melahirkan peradaban Islam.
Pada awal mulanya, Peradaban Islam yang berkembang di Arab berdiri di atas tatanan masyarakat kecil yang di bangun berdasarkan ikatan keluarga, keturunan, kekerabatan dan ikatan etnis, masyarakat pertanian dan perkotaan, perekonomian pasar, kepercayaan monotheistik dan imperium birokratis.[1]
Perkembangan peradaban masyarakat Islam tersebut, pada dasarnya menampilkan dua aspek yang fundamental. Aspek pertama, merupakan oraganisasi masyarakat manusia yang menjadi kelompok-kelompok kecil, dan tak jarang kelompok yang bercorakkan kekeluargaan. Sedangkan aspek yang kedua adalah sebuah evolusi yang memiliki kecenderungan pembentukan kesatuan kultur, agama dan wilayah kekuasaan dalam sekala yang lebih besar.[2]
Transformasi sosial dari masyarakat Arab pra Islam sampai terbentuknya keunggulan peradaban dan dilanjutkan dengan masa stagnasi terhadap pemikiran secara sistematis dapat kita klasifikasikan dalam 3 fase. Fase pertama merupakan fase penciptaan komunitas baru yang bercorakan Islam di Arab sebagai hasil dari tranformasi masyaraakat pinggiran dengan sebuah masyarakat kekerabatan. Fase kedua merupakan penaklukan bangsa Arab (komnunitas muslim) yang baru terbentuk yang pada akhirnya mendorong terciptanya imperium dan kebudayaan Islam. Fase ketiga merupakan fase post-imperium atau periode kesultanan yang mana pola dasar kultural dan khalifah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam. Pada fase ketiga ini, Islam berubah menjadi agama dan basis organisasi komunal dari masyarakat Timur Tengah.
Pada fase ketiga ini pula peradaban Islam mengalami stagnasi dan tertinggal jauh dengan Barat yang pada awal mulanya berangkat dari peradaban timur (Islam) melalui saluran utamanya Spanyol. Semuanya itu pada dasarnya berangkat dari pergeseran yang terjadi dari paradigma Islamic Culture menjadi Islamic Societies.[3] Berangkat dari hal ini, tulisan singkat ini mencoba menguraikan manifestasi atas nilai humanisme, individualisme dan kosmopolitanisme dalam bingkai paradigma Islamic Culture dan Islamic Societies .

B. Ekspresi Nilai Humanisme, Individualisme dan Kosmopolitanisme dalam Msyarakat Islam Klasik.

Humanisme sebagai cerminan atas nilai-nilai yang menjujung kemanusian dan menolak terhadap penindasan serta tercapainya peningkatan kualitas potensi diri, merupakan bagian integral yang tidak bisa di bantah oleh siapa pun dalam ajaran Islam. Arab pra Islam yang terwakili oleh potret sistem patriarkhi dan eksploitasi terhadap sesama pada akhirnya tereduksi dengan ajaran yang di bawa Muhammad.
Oleh karena itu, adalah wajar manakala gerakan resistensi muncul terhadap ajaran Muhammad tersebut. Sebab ajaran baru itu, secara implisit menentang terhadap kelanggengan institusi yang sedang belangsung pada saat itu, baik dalam hal perekonomian maupun eksistensi elit politik yang termanifestasikan dalam sistem kesukuan yang mapan.[4]
Di masa klasik ini, yang bagi penulis di awali dari keberadaan Rasul Muhammad, pada dasarnya dapat kita telaah secara mendalam bagaimana nilai humanisme ini terekspresikan. Adalah ketika Rasul Hijrah ke kota Madinah yang pada akhirnya lahir sebuah tatanan masyarakat yang berperadaban dan berdiri atas nilai-nilai humanisme.
Kita mengetahuai bahwa dalam membangun masyarakat Madinah, Rasul melakukan langkah taktis yang bagi penulis secara politis begitu luar biasa. Langkah-langkah tersebut antara lain, pertama, membangun tempat konsentrasi masa yang sekaligus menjadi tempat peribadatan umat Muslim yaitu masjid. Kedua membangun persaudaraan antara kaum Anshor dan Muhajirin, ketiga meletakkan fondasi masyarakat yang berkaitan dengan ekonomi, politik, dan hukum.
Kesemuanya tersebut bila kita menelaahnya lebih lanjut merupakan ekpsresi dari nilai Humanisme. Persaudaraan antar sesama Muslim merupakan bentuk kongkrit dari upaya merealisasikan nilai humanisme tersebut, sebab dengan terbangunnya persaudaraan, maka antara satu individu dan individu yang lain bisa saling menyokong terciptanya perdamaian dan prinsip saling menghargai.
Selain itu, pondasi masyarakat yang diletakkan Rasul pada dasarnya merupakan pengejawantahan terhadap kesadaran akan individu dalam sebuah kominitas masyarakat. Oleh karena itu, dengan intepretasi awal terhadap sumber hukum Islam yakni al-Qur’an, merupakan bentuk pertama bagaimana individu terposisikan dalam satu komunitas masyarakat. Dari bentuk masyarakat awal ini pula bagi penulis kosmopolitanisme sebagai ekspresi nilai-nilai elitis dari masyarakat terlahirkan.
Pada fase berikutnya sebagaimana di atas penulis kemukakan bahwa tranformasi masayarakat pra Arab sampai terbentuknya peradaban yang tinggi terbagi menjadi 3 fase, ekspresi nilai humanisme, individualisme dan kosmopolitanisme termanifestasikan melalui imperium khilafah (kekerajaan) yang pada satu sisi semakin mengukuhkan corak kosmopolitanisme masyarakat Islam.
Pada masa Khulafaur Rasidun, ekspresi ini terfokuskan pada bagaimana menyebarkan agama Islam ke seluruh semenanjung Arab dan sekitarnya. Dalam catatan H.A.R Gibb salah satu faktor fundamental yang melatar belakangi penyebaran agama Islam sampai keluar semenanjung Arab adalah disebabkan oleh pandangan, bahwa Islam adalah agama yang bukan hanya mengajarkan pada bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan melainkan juga mengajarkan hubungan manusia dengan sesamanya yang termanifestasikan dalam pembentukan sistem pemerintahan dan hukum yang menjunjung terhadap pripsip egalitarianisme dan keadilan.[5] Selain itu, terdapat keyakianan dalam hati kalangan umat Islam awal, bahwa Islam yang membawa doktrin Rahmatan Lil Alamin harus disebarkan keseluruh penjuru dunia.
Oleh karena itu, pada fase ini ekspresi individualisme terungkap dalam relasi politik dalam mengembangkan ajaran Muhammad. Di samping itu, kosmopolitanisme dengan adanya fokus terhadap pengembangan ajaran Islam merubah kultur masyarakat yang nomad menjadi komunitas yang mendiami suatu tempat yang pada akhirnya melahirkan kota baru dengan kemajuan perdagangan dan perkembangan pertanian.[6]
Pada masa berikutnya, yakni pemerintahan dinasti Umayyah dan Abasiyyah. Ekspresi humanisme, individualisme dan kosmopolitanisme makin terkukuhkan. Sebab pada kedua dinasti ini Islam mencapai puncak kejayaan peradaban. Pada masa Umayyah ekspresi ini termanifestasikan melalui identitas kebudayaan Muslim yang menekankan pada aspek Syair, filsafat, sains, seni dan arsitektur yang merupakan alat legitimasi kultural yang mencoba di bangun oleh para elit penguasa dalam melanggengkan rezimnya. Tidak jauh berbeda dengan Umayyah, pada masa Abasiyyah juga mengambil pola serupa. Demikianlah bagaimana nilai humanitas, individualisme dan kosmopolitanisme terekspresikan dalam sejarah awal umat Islam klasik yang di awali dari zaman Rasulullah sampai zaman khilafah yang melahirkan bentuk peradaban yang tinggi.
B. Relasi Elit Agama Dengan Elit Penguasa : Aktualisasi Patronase Umat Islam
Berkembangnya ilmu pengetahuan yang melahirkan peradaban tinggi baik dalam fisafat, seni, sains, sastra dan arsitektur, pada dasarnya tidak terlepas dari bagaimana relasi antara elit agama dengan elit penguasa. Sebagaimana di atas telah di singgung bahwa perkembangan tersebut pada dasarnya merupakan alat yang dipakai elit penguasa dalam melanggengkan rezimnya.
Satu fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri, bahwa pada masa Abasiyyah relasi patronase ini berkembang dengan suburnya yang pada satu sisi mengakibatkan pergolakan politik dan pada sisi yang lain menampakkan biasnya pada ranah teologi. Adalah al-Makmun yang memiliki kecederungan terhadap rasionalisasi membawanya pada kebijakan memakai Mu’tazilah menjadi mazhab negara.
Hal yang demikian itu, bagi penulis merupakan potret betapa mesranya relasi antara elit penguasa dan agama. Dari kaca mata politik, keperpihakan al-Makmun terhadap Mu’tazilah sampai menjadi mazhab negara tentu tidak terlepas dari realitas empiris waktu itu. Dengan kata lain, terkukuhkannya Mu’tazilah menjadi mazhab negara adalah salah satu langkah real dalam membangun konsolidasi politik.
Lebih lanjut, menjamurnya karya-karya Yunani kuno yang termanifestasikan dalam karya terjemahan juga tidak telepas dari relasi elit agama dengan penguasa. Perhatian dari khalifah al-Makmun dan Harun al-Rasyid terhadap ilmu pengetahuan pada akhirnya mehirkan tokoh-tokoh terkenal seperti Ibn sina. Tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Abasiyyah di Bagdad, kemajuan ilmu ilmu pengetahuan di Barat yang dalam hal ini terwakili oleh dinasti Umayyah di Spanyol, juga berkembang melalui relasi serupa.
Lahirnya al-Majriti, al-Zarqali dan Ibn Aflah sebagai ilmuwan dalam bidang astronomi, juga tidak terlepas dari relasi patronase dengan elit penguasa saat itu, yakni penguasa Kordova, Seville, dan Toledo.[7] Hal serupa juga bisa kita telusuri bahwa berdirinya universitas-universitas megah baik di Timur dan Barat pada dasarnya juga berangkat dari relasi patronase antara elit penguasa dengan agama.
Dari perjalanan sejarah yang demikian ini, adalah wajar dan lumrah manakala agama dalam prespektif politik adalah sarana legitimasi menuju dan melanggengkan kekuasaan yang efektif. Perselingkuhan antara elit agama dengan elit penguasa tidak bisa kita pungkiri pada satu sisi memang memberikan implikasi positif terhadap tumbuh kembangnya ilmu pengetahuan, namun di sisi yang lain relasi yang demikian ini melahirkan ketidak independenan dan kemandirian elit agama dalam menngembangkan proyek ilmu pengetahuan. Dengan kata lain berkembang atau tidaknya ilmu ilmu pengetahuan sangat bergantung pada relasi ini.

C. Reduksi Politik Praktis terhadap Elan Vital Peradaban Islam
Elan Vital dalam peradaban Islam yang penulis maksudkan di sini merupakan 3 nilai dasar dalam membangun peradaban, yakni humanisme, individualisme, dan kosmopolitanisme. Ketiga nilai tesebut termanifestasikan dalam sejarah awal umat Islam, baik pada masa pertama pembentukan komunitas Islam ataupun pada fase yang kedua yaitu menifestasi ajaran dalam bentuk imperium khilafah yang melahirkan peradaban tinggi.
Adapun pada pembahasan berikut ini merupakan fase ketiga dimana di pembahasan awal dikatakan sebagai fase post-imperium yang mengambil bentuk negara dan institusi Islam. Pada fase ini pula penulis berpendapat bahwa kemajuan peradaban yang telah dicapai pada dua fase sebelumnya mengalami metamorfosa yang pada akhirnya melahirkan kemandegan dan ketidaksignifikannya perkembangan peradaban umat Islam.
Bila ditelaah lebih lanjut, bahwa majunya peradaban Islam pada dua fase tersebut, maka akan nampak bahwa ruh yang dikembangkan pada masa awal yang terbingkai dalan dua fase transformasi masyarakat adalah membangun Islamic culture. Dalam hal ini, paradigma yang berkembang tentu akan merujuk pada satu visi yakni terciptanya kualitas peradaban sebagai buah atas transformasi dari masyarakat nomad menuju masyarakat yang mengkonstruk sistem yang baru.[8]
Sedangkan pada fase ketiga ini, paradigama yang dikembangkan adalah Islamic Societies. Yaitu paradigma yang penulis menerjemahkan sebagai paradigma yang didasari atas kepuasan terhadap pencapaian kemajuan peradaban yang terbangun pada dua fase sebelumnya. Dengan kata lain, sikap puas dari generasi abad pertengahan ini mencoba memfokuskan nilai humanisme kedalam proyek pembangunan negara dan institusi Islam.
Paradigma yang demikian itu pada akhirnya membawa umat Islam pada pergulatan politik internal yang mengedepankan pembentukan institusi dari pada mencoba membangun dan mengkontekstualkan paradigma yang terbangun pada dua fase sebelumnya. Implikasi dari hal ini adalah redupnya semangat humanisme yang berujung pada kristalisasi pemahaman masa lampau. Sehingga adalah wajar, disaat generasi umat Islam abad pertengahan terlena dengan pencapaian peradaban pada dua fase awal, kalangan barat melalui transformasi peradaban dari Islam dengan saluran utamanya Spanyol mengalami transformasi dari zaman kegelapan menuju Renaisan.[9]
Tingginya semangat humanisme di Barat pada akhirnya membalikan fakta sejarah yang pada awal mulanya Islam mengalami masa kejayaan menjadi stag dan terpuruk, tertandingi dan terungguli oleh Barat. Semuanya itu, pada dasarnya berangkat dari akar paradigma yang dikembangkan pada fase ketiga ini yakni pembentukan Islamic Societies yang berimplikasi terhadap redupnya semangat humanisme.
Adapun indikator dari pola pembentukan Islamic Societies ini diantaranya adalah, pertama kuatnya kecenderungan terhadap pengukuhan hasil peradaban terdahulu (pemikiran) yang melahirkan gerakan radikalisme dalam merespon realitas-empiris, kedua semakin menguatnya gerakan konservatif di kalangan umat, ketiga jauhnya peranan akal dalam mengembangkan potensi diri, dan kelima pembentukan pola keseragaman bukan keberagaman. Dari lima indikator tersebut setidaknya kita bisa mengevaluasi mengapa Islam mengelami keterpurukan yang setidaknya kita awali dari fakta di sekeliling kita.
DAFTAR PUSTAKA

Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Terj. A. Mas’adi, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999

Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1, Jakarta :UI Press, 1985

Philip K. Hitti, History Of the Arabic, Terj.Dedi Slamet riyadi, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002

Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999













[1] Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Terj. A. Mas’adi (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1999 ), h. 3
[2] Ibid., h. 3
[3] Islamic Culture merupakan fase pertama dan kedua yang di bangun pada masa Islam klasik yang menghasilkan kejayaan peradaban sebagai hasil atas transformasi dari masyarakat nomad menjadi masyarakat yang mengkonstruk sistem baru. Sedangkan Islamic Societies merupakan ekspresi generasi umat Islam abad Pertengahan terhadap puncak kejayaan pencapaian peradaban pada dua fase awal (Masa Klasik) yang berorientasi pada pembentukan negara dan institusi Islam.
[4] Lapidus, A History of…………, h. 35
[5] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 ( Jakarta :UI Press, 1985), h. 58
[6] Lapidus, A History Of………, h. 352
[7] Philip K. Hitti, History Of the Arabic, Terj.Dedi Slamet riyadi, ( Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2002 ), h. 726
[8] Tranformasi dari masyarakat Nomad menuju masyarakat yang mengkonstruk sistem baru adalah sebuah fae dimana manusia mencoba menggali potensi yang terdapat dalam individu-individu maupun pada lingkungan alam. Hasil dalam menggali potensi ini pada akhirnya melhirkan khasanah ilmu pengetahuan yang tinggi. Dengan kata lain fase transformasi ini merupakan upaya yang dilakukan umat Islam awal dari no think menjadi think, dari perintisan menuju kejayaan.
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999 ), h. 109

Tidak ada komentar: