6/08/2008

PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG KEPEMILIKAN

PEMIKIRAN KARL MARX TENTANG KEPEMILIKAN
(ANALITSIS KRITIS EKONOMI ISLAM)
Oleh : Muhammad Hambali

Abstarak
Ketidakberdayaan kaum buruh proletariat dalam relasi produksi sistem kapitalisme telah mengetuk hati seorang Karl Marx untuk mencoba mencarikan solusi atas permasalahan tersebut. Dalam teori Materialisme Historisnya Karl Marx menyatakan bahwa sistem kepemilikan adalah suatu keniscayaan dalam sistem sosial masyarakat. Dalam teori tersebut Karl Marx menyatakan bahwa perkembangan sistem sosial masyarakat berlangsung dalam lima tahap utama. Tahap perkembangan tersebut antara lain, pertama tahap masyarakat komunal primitif yang belum mengenal sistem kepemilikan. Kedua, tahap pembagian kerja dan munculnya kepemilikan dalam sistem perbudakan. Ketiga tahap terbentuknya masyarakat feodalisme. Keempat, tahap terbentuknya masyarakat kapitalime dan kelima, tahap akhir dari perkembangan sistem sosial masyarakat yakni sosialis-komunis. Dari sini, sistem sosial masyarakat tersebut dilihat dari sudut kepemilikan terbagi menjadi tiga bagian yakni tahap masyarakat komunal primitif, tahap pembagian kerja dan lahirnya kepemilikan, tahap penghapusan kepemilikan. Makalah ini merupakan studi pemikiran Karl Marx tentang kepemilikan yang mencoba di lihat dari prespektif ekonomi Islam beserta reklevansinya dalam konteks kekinian. Menurut Karl Marx dalam sistem kepemilikan kaum buruh proletariat mengalami Eksploitasi dan Alienasi. Dua hal tersebut hanya kan dapat di atasi hanya dengan cara menghhapus sistem kepemilikan yang digantikan oleh peran kepemilikan collective (bersama). Di sisi lain bagi ekonomi Islam, eksploitasi dan alienasi yang dialami kaum buruh-proletariat adalah akabita dari ketidak konsistenan sistem pengelolaan harta dan distribusinya dalam sistem kapitalisme, bukan kepemilikan. Oleh karena itu ekonomi Islam, lebih melihat pada peran serta individu-indivi dalam mengelolah harta dan pola pendistribusiannya. Selain itu, bagi penulis teori ekspoloitasi dan alienasi Karl Marx makin menampakkan relevansinya dalam konteks dewas ini. Indikator akan hal ini adalah marginalisasi buruh dalam relasi produksi yang tercermin dalam sistem kontrak dan Outsourcecing.

A. Pendahuluan
Kepemilikan (istilah yang dipakai Karl Marx dalam menyebut hak milik pribadi, selanjutnya tulisan ini memakai istilah kepemilikan) dalam pandangan Karl Marx merupakan konsekwensi logis dari sistem pembagian kerja yang di barengi dengan penemuan alat produksi baru. Dua hal tersebut, menyebabkan lompatan hasil produksi yang pada akhirnya menghasilkan surplus velue (nilai lebih) yang terkristal dalam bentuk kepemilikan.
Asal muasal sistem kepemilikan, sangat jelas tergambar dalam teori materialisme historis. Dalam teori tersebut, Karl Marx menyatakan pola perkembangan sistem sosial masyarakat terbagi dalam lima tahap. Tahap pertama, terbentuknya sistem komunal primitif. Kedua, tahap terbentuknya pembagian kerja dan kepemilikan dalam sistem perbudakan. Ketiga tahap terbentuknya masyarakat feodalisme. Keempat tahap terbentuknya masyarakat kapitalis dan kelima tahap terbentuknya masyarakat sosialis komunis.
Lima tahap perkembangan masyarakat terseabut merupakan penafsiran Karl Marx dari sudut ekonomi dalam relasi hubungan produksi dan kekuatan produksi yang tercermin dalam dinamika basis (infrastruktur) dan bangunan atas (suprastruktur). Menurut Karl Marx, dibawah sistem kepemilikan buruh-proletariat mengalami nasib yang tragis yang tercermin dalam eksploitasi dan Alienasi. Aksploitasi merupakan logika kapitalis dalam meningkatkan keuntungan atau modal. Indikasi akan hal ini adalah di tandai oleh sistem upah Subssitensi. Sedangkan alienisme (keterasingan) adalah bentuk ketidak berdanyaan buruh proletariat dalam mengontrol hasil produksinya.
Oleh karena itu satu satunya cara untuk mengatasi problem tersebut hanya tercapai dengan penghapusan kepemilikan, sebab bagi Karl Marx akar permasalahannya terletak dalam sistem kepemilikan tersebut. Penghapusan tersebut, selanjutnya Karl Marx menawarkan konsep kepemilikan bersama yang dioperasionalisasikan oleh kaidah “ from each according to his ability, to each according to his need”(setiap orang berdasarkan atas kemampuannya, dan bagi setiap orang berdasar atas kebutuhannya)
Dari sinilah, makalah ini bermaksud menelaah pemikiran Karl Marx dalam kerangkan ekonomi Islam. Selain itu, bagi penulis pemikiran Karl Marx menarik untuk di kaji sebagai piranti untuk menganalisa relasi produksi yang tercermin dalam sistem kapitalisme dewasa ini. Indikator akan hal ini, kita mampu menjelaskan dan memahami mengapa buruh dewasa ini senantiasa termarginalkan dalam relasi produksi kapitalisme sebagaimana yang terungkap dalam sistem kontrak dan Outsourcing.

B. Sketsa Historis Kehidupan Karl Marx
Nama lengkapnya Karl Heinrich Karl Marx. Lahir pada tanggal 5 Mei 1818 M di kota Trier–Prusia sebelah perbatasan barat Jerman. Karl Marx dilahirkan di tengah-tengah keluarga Yahudi. Ayahnya, Heinrich Karl Marx adalah seorang pengacara Yahudi, tekanan dari pemerintah Prusia, pada akhirnya membuat keluarganya pindah agama dari penganut Yahudi menjadi Kristen Protestan.
Karl Marx menamatkan sekolah menengah awal (Gymnasium) pada saat berumur 17 tahun,. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke sekolah menengah atas. Kegeniusan Karl Marx benar-benar sudah terlihat sejak kecil. Pada saat duduk di sekolah menengah atas ia menulis esai yang berjudul The Union of The Fathful With Christ yang membicarakan Alienasi, rasa takut ditolak oleh Tuhan. Karl Marx sangat tertarik dengan carita tentang surga yang damai dalam kitab Gensis dan merasa takut dengan cerita mengerikan Apocalypse dalam Revelation of St. John.
Setelah lulus sekolah menengah, atas keinginan ayahnya, Karl Marx melanjutkan pendidikannya keperguruan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Bonn. Ayahnya berharap, Karl Marx dapat melanjutkan karirnya sebagai seorang notaris. Di Universitas tersebut Karl Marx hanya bertahan selama satu tahun kemudian pindah ke Universitas Berlin. Di sana ia mengkhususkan diri pada studi filsafat dan sejarah.
Di Universitas Berlin, Karl Marx bergabung dengan kelompok studi yang menggeluti ajaran filsafat Hegel. Kelompok studi tersebut bernama Hegelian Muda (Young Hegelian). Pada tahun 1841, Karl Marx mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Jena dengan disertasi “The Diffrence Between The Natural Philosophy of Democritos and Natural Philosophy of Epicurus” (Perbedaan antara filsafat alam Demokratis dan filsafat alam Epicurus) tepatnya pada tanggal 15 April 1841.
Tokoh yang sangat berpengaruh dalam konsepsi-konsepsinya adalah G.W. Hegel dan L.A. Feuerbach. Dari Hegel. Karl Marx mendapatkan konsepsi dialektika sebagai kerangka pemahamannya tentang sejarah masyarakat. Sedangkan dari L.A. Feurbach yang sama-sama angota Hegelian Kiri mendapatkan konsepsi tentang matrialisme. Dari sekian banyak karya-karya filsafat dan ekonomi Karl Marx, yang paling membuat Karl Marx tersohor adalah karya Das Kapital yang terdiri atas empat buku.

C. Pemikiran Karl Marx Tentang Kepemilikan
Sistem kepemilikan sebagai konsekwensi logis atas sistem pembagian kerja, pada satu sisi hanya menguntungkan kaum kapitalis (pemilik modal), sementara nasib buruh proletariat menjadi terancam pada sisi yang lain. Menurut Karl Marx, di bawah sistem kepemilikan buruh mengalami ekspoitasi dan alienasi (keterasingan). Untuk dapat memahami bagaimana gagasan Karl Marx tentang eksploitasi yang dilakukan oleh kaum kapital terhadap kaum pekerja. Maka kita perlu memahami konsepsi Karl Marx tentang nilai suatu komoditas (barang).
Konsepsi nilai komoditas, sebenarnya berasal dari konsep nilai David Ricardo dan Adam Smith. Menurut David Ricardo, nilai komoditas adalah :
Nilai suatu komoditas bukan semata-mata kadar usaha yang secara langsung dikorbankan untuk menghasilkannya, tetapi juga pada usaha yang telah dikorbankan sebelumnya untuk menghasilkan alat-alat perlengkapan-perlengkapan yang dipergunakan dalam proses produksi.
Sedangkan menurut Adam Smith, nilai komoditas adalah :
Nilai barang-barang apapun amat bergantung kepada usaha yang dicurahkan untuk menghasilkannya, karena itu, nilai barang yang proses produksinya menghabiskan waktu dua jam tentu melebihi nilai barang yang proses produksinya tidak membutuhkan waktu, kecuali satu jam.
Dari kedua konsep nilai komoditas tersebut, konsep David Ricardo yang mengilhmi konsep nilai Karl Marx. Menurut Karl Marx, jika tenaga kerja adalah penentu terhadap keberadaan nilai suatu komoditas maka keuntungan yang didapatkan oleh kaum kapitalis adalah nilai lebihnya. Menurutnya penentu nilai komoditas adalah tenaga kerja yang dibutuhkan, yang dalam hal ini adalah kaum pekerja. Oleh karena itu, seyogyanya nilai lebih tersebut adalah hak dari kaum pekerja. Namun, pada kenyataannya nilai lebih tersebut, dikuasai oleh kaum kapitalis dengan jalan yang tidak adil dan dicuri dari kaum pekerja. Proses pengambilan nilai lebih dari kaum pekerja inilah yang dikatakan Karl Marx sebagai eksploitasi.
Selain itu Karl Marx juga menjelaskan cara-cara kaum kapitalis untuk meningkatkan nilai lebihnya. Di antara cara-cara itu adalah dengan meningkatkan jam kerja. Intensitas kerja, pengetatan atas kontrol terhadap buruh dan penggantian tenaga kerja laki-laki dengan tenaga kerja perempuan dan anak-anak.
Dampak kedua yang dialami oleh kaum buruh dengan adanya sistem hak milik adalah adanya keterasingan kaum buruh (Alienasi). Menurut Karl Marx, keterasingan (Alienasi) yang dialami kaum buruh terdiri atas dua macam, yaitu keterasingan dari dirinya sendiri dan keterasingan dari sesamanya. Keterasingan buruh dari dirinya sendiri dibagi lagi menjadi 3 macam keterasingan, yaitu keterasingan buruh dari aktifitas kerja, hasil kerja dan dirinya sendiri.
Menurut Karl Marx, kerja adalah sarana obyektivasi (perealisasian) diri setiap manusia. Oleh sebab itu, kerja haruslah menyenangkan dan berdasarkan nilai universal kemanusiaannya. Akan tetapi, dibawah sistem kapitalisme, buruh telah bekerja atas dasar paksaan. Bukan atas kemauannya sendiri. Kaum buruh bekerja atas dasar untuk mempertahankan hidupnya saja, bukan untuk pengembangan diri. Bagi Karl Marx, tujuan kerja adalah pengembangan diri, inilah yang dinamakan Karl Marx sebagai keterasingan buruh dari aktivitasnya.
Setelah buruh terasing dari aktivitas kerjanya, kaum buruh juga terasing dari hasil kerjanya. Bagi Karl Marx seorang seniman lebih dapat merasakan atas apa yang dihasilkannya dari pada seorang buruh yang kehilangan kontrol atas hasil kerjanya. Hasil kerja kaum buruh dikuasai oleh segelintir orang diluar dirinya yaitu menjadi milik pabril-pabrik dan kaum kapitalis. Setelah buruh terasing dari dirinya sendiri, manusia bekerja hanya semata-mata demi uang untuk mempertahankan hidupnya bukan untuk pengembangan dirinya. Kondisi ini dinilai Karl Marx sebagai penyangkalan diri kaum buruh terhadap keberadaannya sebagai makhluk yang bebas dan universal.
Dalam sebuah ungkapan yang terkenal Karl Marx mengatakan “bahwa kaum buruh baru dapat menjadi dirinya sendiri setelah waktu kerja selesai”. Hal ini menandakan, dibawah sistem kapitalis kaum buruh bekerja atas dasar paksaan. Semakin kaum buruh menghasilkan pekerjaan, semakin miskin pula dunia bathin dari kaum buruh. Itu semua merupakan akibat dari adanya pembagian kerja yang telah membunuh totalitas kreatif manusia. Dalam Germany Ideology, Karl Marx mengatakan :
Segera setelah disalurkan, setiap orang memiliki lingkungan kerja yang eksklusif tertentu yang dipaksakan dan tanpa jalan keluar. Dia merupakan seorang pemburu, nelayan dan harus tetap begitu jika dia enggan kehilangan arti kehidupan.
Bentuk pengasingan yang kedua bagi Karl Marx adalah keterasingan dari sesamanya. Alienasi kedua ini merupakan konsekwensi logis dari pengasingan buruh dari aktifitasnya, hasil kerjanya dan dirinya sendiri. Oleh sebab itu keterasingan dari hakekat sebagai manusia yang bebas dan universal adalah keterasingan dengan sesamnya. Dalam ekonomi filsafat 1844 Karl Marx mengatakan :
Dalam merenggut (mengalienasi) (1) alam dari manusia dan (2) dirinya sendiri, fungsi-fungsi aktifitasnya sendiri, aktifitas kehidupannya, maka perenggutan kerja merenggut spesies menjadi suatu kebutuhan / alat dari kehidupan individual. Pertama-tama ia merenggut kehidupan dari spesies dan kehidupan individu dan kedua ia mengubah kehidupan individual didalam bentuk abstraknya itu menjadi tujuan dari kehidupan spesies itu. demikian pula didalam bentuk abstrak dan terenggut itu.
Dalam fakta empirisnya, keterasingan itu mengambil bentuk pertentangan-pertentangan dalam masyarakat. Dalam sistem kepemilikan, dimana kaum pekerja berada dalam kekuasaan kaum kapitalis. Keadaan tersebut mengkondisikan masyarakat terbelah menjadi dua kelompok yaitu kaum pemilik modal (kapitalis) dan kaum pekerja (kaum pekerja demi untuk mempertahankan eksistensinya harus rela menerima upah yang sangat minim dari kerjanya. Sehingga dari hal ini, bukan karena egois, kaum kapitalis mengeksploitasi buruh dan bukan karena iti, kaum buruh memberontak kepada kaum kapitalis. Akan tetapi secara obyektif kepentingan dua kelas ini sangat berbeda.
Selain itu, keterasingan juga merusak hubungan antar kelas dalam masyarakat. Kaum kapitalis terasing dengan kapitalis lain dalam hal perebutan pasar dan pengembangan kapital. Sedangkan kaum pekerja terasing dengan pekerja lainnya dalam hal pemerolehan jabatan dan peningkatan upah serta syarat kerja yang baik. Dengan demikian, bagi Karl Marx, sistem kepemilikan mengkondisikan keharusan adanya sistem kompetisi antara manusia, keuntungan yang satu merupakan kerugian yang lainnya.
Sebagai solusinya Karl Marx menawarkan kepemilikan collective. Dalam konsepsi Karl Marx kepemilikan collective tersebut merupakan pilar utama dalam masyarakat yang dibangunnya yakni masyarakat sosialis-komunis. Masyarakat tersebut interaksi ekonominya berdiri atas teori "from each according to his ability, to each according to his need"( setiap orang berdasarkan kemampuannya dan setiap orang berdasarkan kebutuhannya ).
Dalam konteks dewasa ini, pola eksploitasi dan bentuk keterasiangan juga masih dapat kita temukan dalam relasi produksi sistem kapitalisme dewasa ini. Indikator akan hal tersebut adalah minimnya kesejahteraan yang diterima oleh buruh baik dalam bentuk upah atau perlindungan terhadap kerja. Selain itu jika dulu, pada masa Karl Marx upaya eksploitasi buruh dilakukan dengan jalan pengetatatan kontrol kerja dan penggunaan tenaga kerja wanita dan anak-anak maka dewasa ini pola eksploitasi mengalami metamorfosa dalam bentuk sistem outsourcing dan sistem kontrak. Konsep UMR pada hakekatnya juga tidak berbeda dengan konsep upah subsistensi. Dari sinilah penulis berpandangan dari sekian teori-teori Karl Marx teori Ekspolitasi adalah salah satu sumbangsih berharga Karl Marx terhadap ilmu dewasa ini.
D. Konsep Kepemilikan Ekonomi Islam
Menurut Islam, keinginan manusia untuk mengumpulkan dan memperoleh harta kekayaan adalah fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah meliputi jasmani dan rohani. Oleh sebab itu, komponen yang menyusun manusia tersebut kebutuhannya haruslah terpenuhi.Dorongan manusia untuk memperoleh harta kekayaan adalah tidak lain di sebabkan oleh adanya keberadaan kebutuhan jasmani manusia agar tetap eksis di dunia. Dengan demikian, selain mengandung unsur fitrah manusia, dorongan untuk mengumpulkan harta kekayaan juga merupakan suatu keharusan.
Islam tidak melarang individu-individu untuk memperoleh harta kekayaan, melainkan Islam hanya mengatur mekanisme pemerolehan harta kekayaan tersebut. Dengan kata lain, keberadaan hak milik individu diakui oleh Islam. Selain itu, Islam juga mengakui keberadaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam salah satu asas ekonomi di atas dinyatakan bahwa kepemilikan dalam ekonomi Islam adalah kepemilikan ganda (multiownership).
1. Macam-Macam Kepemilikan
a. Kepemilikan (private property)
Private property adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun kegunaan tertentu yang kemungkinan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti sewa, ataupun dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli dari barang tersebut.
Dalam pandangan Islam kepemilikan mempunyai fungsi sosial. Sebab, harta kekayaan yang di peroleh manusia adalah semata-mata titipan dan amanah dari Allah swt. yang harus dibelanjakan sesuai dengan tuntunan syara’.
Islam memberikan kebebasan pada tiap-tiap individu untuk mengumpulkan harta. Namun kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang di batasi oleh ketentuan-ketentuan syara’. Kecenderungan manusia mengumpulkan harta benda merupakan naluri atau fitrah setiap manusia. Oleh sebab itu, bagi Islam pelarangan terhadap keinginan memiliki harta benda adalah bertentangan dengan fitrah manusia.
Prinsip kepemilikan dalam Islam ialah bahwa setiap individu di posisikan sebagai wakil masyarakat yang di sertai kekuasaan untuk memegang dan mengurus harta benda yang ada di tangannya. Oleh karena itu, pada hakekatnya kepemilikan seseorang atas harta banda hanya terbatas pada penggunaan atau pembelanjaan harta saja. Dengan demikian, kepemilikan seseorang atas harta benda adalah bersifat nisbi/relatif. Sedangkan yang abadi/mutlak hanyalah milik Allah SWT. semata.
b. Hak Milik Umum (collective property)
Bentuk kepemilikan yang kedua menurut sistem ekonomi Islam adalah kepemilikan umum (collective property). Latar belakang yang menyebabkan keberadaan kepemilikan umum adalah dikarenakan adanya pelarangan syara’ terhadap individu untuk memiliki harta tertentu. Sebab, harta tersebut merupakan komoditas yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah saw menyatakan :
المسلمون شركاء في ثلاثة : في الماء والكلإ والنار (رواه أحمد وأبو داود)
Artinya :”Setiap orang Islam berserikat dalam tiga hal, dalam hal air, rumput dan api” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Dalam hadits tersebut, digambarkan bahwa esensi dari benda yang menjadi hajat hidup orang banyak adalah air, api dan padang rumput. Benda tersebut (api, padang rumput dan air) dalam konteks sejarahnya merupakan elan vital dari masyarakat pada waktu itu, yaitu masyarakat Arab.
Oleh sebab itu, karena api, air dan padang rumput merupakan benda yang menyangkut hidup orang banyak, maka Rasulullah melarang setiap individu untuk memiliki dan menguasai benda-benda tersebut. Hal ini dikarenakan, pemilikan terhadap benda yang menyangkut hidup orang banyak akan melahirkan kesewenang-wenangan kelas yang menguasai benda tersebut. Logikanya, dengan memiliki benda yang menyangkut hidup orang banyak. Maka, seseorang sangat besar kemungkinannya untuk mengeruk keuntungan dari orang lain yang membutuhkan barang tersebut.
Dalam konteks masyarakat sekarang, di mana dinamika kebutuhan dan perkembangan masyarakat sangat kompleks tentunya benda-benda tersebut akan lain bentuknya dengan kondisi masyarakat dahulu (Arab). Namun, substansi dari pensyari’atan Islam terhadap keberadaan kepemilikan umum adalah masih sama, yaitu benda tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Sehingga dengan adanya penguasaan secara pribadi terhadap benda tersebut, kamadlaratan akan menimpa masyarakat. Pertimbangan maslahah dan mudharat inilah menjadi dasar keberadaan collective property.
Dalam kaidah fiqhiyah dijelaskan :
الضرر يزال
Artinya :”Kemadlaratan itu harus dihilangkan”
Kaidah tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu yang menimbulkan kesulitan dan membahayakan haruslah dihilangkan. Jika keadaan yang membahayakan tersebut tidak dihilangkan, maka akan dapat membahayakan eksistensi manusia dibumi. Oleh sebab itu, dengan adanya penghapusan bahaya tersebut, maka kemaslahatan akan datang. Dalam konteks kepemlikan umum di atas, dengan melarang seseorang untuk menguasai benda yang menyangkut hajat hidup orang banyak, maka kemaslahatan akan diterima masyarakat (maslahah ummat).
Adapun benda atau harta dalam pandangan hukum Islam yang dilarang untuk dikuasai atau di miliki perorangan adalah benda atau harta yang menyangkut :
1) Fasilitas umum, yang mana apabila di miliki perorangan akan menyebabkan sengketa.
2) Bahan tambang yang tidak terbatas.
3) Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk di miliki secara perorangan.
Institusi atau lembaga yang berhak mengelola kepemilikan umum ini adalah khalifah. Hal ini di dasarkan pada praktek Rasulullah dan kekhalifahan sesudah beliau yang telah mengelola kepemilikan umum. Dalam konteks masyarakat sekarang, tentunya adalah negara, sebagai hasil evolusi kekhalifahan.


c. Hak Milik Negara (state property)
Di samping kepemilikan/perorangan dan kepemilikan umum, Islam melihat ada benda yang bukan milik individu dan juga bukan milik umum, akan tetapi benda tersebut merupakan hak dari negara atau milik negara.
Kategori benda yang termasuk dalam kepemilikan negara adalah benda yang memungkinkan untuk di miliki secara persorangan. Semisal tanah hasil rampasan perang, ghanimah, kharaj ataupun jizyah. Akan tetapi, mengingat benda tersebut terkait dengan hak muslim secara umum, maka hal ini tidak mungkin untuk di miliki secara perorangan melainkan menjadi milik negara.
Pengelolaan dari kepemilikan negara ini adalah menjadi wewenang seorang khalifah. Dalam hal ini, khalifah berhak menentukan bagaimana benda yang menjadi kepemilikan negara tersebut dikelola dan didayagunakan. Kewenangan yang di berikan syara’ terhadap khalifah adalah dilatar belakangi konsepsi Islam mengenai kepemilikan.
Islam menyatakan, bahwa hakekat kepemilikan seseorang terhadap benda adalah adanya kekuasaan seseorang terhadap benda yang di milikinya serta dibelanjakan berdasarkan ketentuan syara’. Oleh sebab itu, pengelolaan kepemilikan negara sangat erat kaitannya dengan kebijakan dan ijtihad khalifah dalam mengelola benda tersebut. Kewenangan khalifah, dalam mengelola harta negara dalam hal ini di batasi oleh ketentuan-ketentuan syara’. Artinya apabila harta tersebut pengelolaannya atau pembagiannya sudah di tentukan syara’, maka khalifah harus mematuhinya. Semisal komponen baitul maal yang berasal dari zakat, maka pembagiannya harus di berikan pada golongan yang telah ditentukan syara’. Akan tetapi, bila pengelola harta negara tersebut tidak di tentukan syara’ maka pengelolaannya diserahkan pada ijtihad khalifah.
Dengan demikian, walaupun dalam kepemilikan negara khalifah mempunyai kewenangan untuk mengelola benda-benda tersebut sebagaimana dalam kepemilikan umum. Akan tetapi, dalam pengelolaan harta kepemilikan negara dan kepemilikan umum terdapat perbedaannya. Dimana, pada harta yang masuk dalam kategori kepemilikan umum, pada dasarnya khalifah tidak boleh memberikannya pada perseorangan. Sedangkan pada harta kepemilikan negara, khalifah berhak memberikannya pada perorangan, seperti pada pembagian ghanimah ataupun kharaj.
E. Analisis Kritis Ekonomi Islam
Keterasingan (alienasi) dan eksploitasi buruh sebagai konsekwensi logis atas pembagian kerja yang melahirkan produksi lebih dalam bentuk milik pribadi adalah keterasingan dan eksploitasi. Di bawah sistem kepemilikan, kaum buruh mengalami keterasingan dan eksploitasi.
Karl Marx berpendapat bahwa selama manusia berproduksi adalam sistem hak milik, manusia akan terus teralienasi. Hasil kerja yang seharusnya menjadi miliknya, dikuasai oleh orang lain. Aktivitasnya dalam kerja bukan diorientasikan untuk pengembangan diri, namun untuk sesuatu diluar kerjanya. Pada akhirnya dibawah sistem hak milik manusia menjadi terasing dari dirinya sendiri dan sesamnya.
Selain itu keterasingan juga merusak relasi dalam masyarakat, baik bagi pekerja maupun kaum kapitalis. Semua itu merupakan berangkat dari sistem kepemilikan dan pembagian kerja.
Hasrat kaum kapitalis untuk meningkatkan nilai lebihnya pada akhirnya juga menyengsarakan kaum pekerja. Kaum pekerja menjadi tereksploitasi. Karl Marx menggambarkan bahwa nilai lebih yang di dapat kaum kapitalis adalah pencurian atau eksploitasi yang dilakukan kaum kapitalis terhadap kaum pekerja.
Upah yang didapat kaum pekerja, dari hasil kerjanya hanya cukup untuk memperoleh hidup. Oleh karena itu, berapapun lamanya kaum buruh bekerja untuk kapitalis dibawah sistem kepemilikan, kesejahteraannya tidak akan kunjung tiba. Oleh karena itu, sebagai jalan untuk menghapus alienasi dan eksploitasi, Karl Marx menawarkan penghapusan sistem kepemilikan.
Kondisi yang dialami kaum buruh, dimana Karl Marx melakukan penelitiannya (Paris, German dan Inggris) adalah tidak lain disebabkan oleh konsepsi upah subsistensi yang dijalankan kaum kapitalis saat itu. Konsep upah yang lahir dari gagasan Adam Smith itu, menyatakan bahwa ketika upah yang diterima kaum buruh jatuh di bawah subsistensi, maka akan banyak kaum buruh yang meninggal. Sebaliknya jika upah yang diterima di atas subsistensi, maka kesejahteraan buruh akan menigkat.
Pengaruh konsep upah inilah, yang menyebabkan keterpurukan nasib kaum buruh. Hasrat untuk memperoleh keuntungan besar, menjadi landasan kaum kapitalis untuk menerapkan upah subsistensi. Disisi lain, hasil kerja buruh dibandingkan upah upah yang diterima, jauh lebih besar dari hasil kerjanya. Ketidakadilan inilah yang digugat Karl Marx. Oleh karena itu, Karl Marx menganggap adil upah yang diterima buruh, jika sesuai dengan hasil kerjanya yang sesuai dengan hukum pasar.
Dalam pandangan Islam, upah yang diterima kaum buruh harus dapat mentransformasikan nilai-nilai keadilan sesuai kehendak syariah. Oleh karena itu, para pemikir Islam memformulasikan cara penetapan upah yang adil. Diantaranya adalah gagasan Baqir Sadr, yang menyatakan bahwa upah buruh dapat ditetapkan dengan cara :
1. Menghitung pengeluaran seorang buruh bersama keluarganya dalam batas kebutuhan minimun, setelah itu baru bergantung pada keahlian dan senioritasnya.
2. Mendasarkan ganti rugi dengan mempertimbangkan hubungan buruh dalam produksi atau sumbangan buruh terhadap produksi.
Dalam hadits, Rasulullah saw menyatakan :
حدثنا العباس بن الوليد الدمشقى, ثنا وهب بن سعيد بن عطية السلمى شا عبد الرحمن بن أسلم, عن أبيه, عن عبد الله بن عمر قال رسول الله ص.م. أعطوا الأجيره قبل أن يجف عرق.(رواه ابن ماجة)
Artinya : “ Bayarlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering”.(HR. Ibnu Majjah)
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa kaum buruh bukan hanya sebagai sarana pemenuhan ambisi majikan, tanpa adanya perhatian akan kesejahteraannya. Akan tetapi pekerja harus dipandang sebagai patner kerja. Sehingga Islam, memerintahkan untuk memberikan upah pekerja sebelum keringatnya kering. Artinya kesejahteraan dan hak kaun buruh haruslah benar-benar diperhatikan.
Dalam kerangka ini, sebenarnya antara gagasan Karl Marx dengan gagasan tokoh Islam tentang upah buruh terdapat titik singgungnya, yaitu kesejahteraan buruh dan menggugat kesewenang-wenangan serta ketidakadilan yang dilakukan sang majikan. Hanya saja, pada ranah praksisnyalah unsur perbedaan kedua pandangan tersebut. Islam cenderung untuk menyoroti prilaku kuasa individu-individu (majikan), sedangkan Karl Marx cenderung pada kerangka sistemnya.
Ketiga, sebagai solusi atas keterasingan dan eksploitasi, Karl Marx menawarkan untuk menghapus sistem kepemilikan. Menurut Karl Marx, di bawah sistem kepemilikan manusia menjadi individual dan serakah. Dengan hapusnya kepemilikan, hakekat manusia yang humanistik akan kembali. Dengan kata lain, kepemilikan sama dengan eksploitasi dan alienasi.
Konsekwensi atas penghapusan tersebut, seluruh aset-aset kepemilikan alat-alat produksi dikelola secara kolektif (bersama). Pemegang kendali atas pengelolaan itu disesuaikan pada tiap-tiap fase masyarakat.
Bagi Islam, kebutuhan manusia akan harta adalah fitrah setiap manusia. Manusia diciptakan Allah swt, terdiri atas komponen jasmaniah dan rohaniah. Untuk dapat eksist, tentunya kebutuhan masing-masing komponen haruslah terpeuhi. Harta kekayaan sebagai unsur pemenuhan komponen kebutuhan jasmaniah adalah sesuatu yang wajar untuk dikuasai secara pribadi.
Paham kepemilikan dalam Islam adalah kepemilikan ganda (multiownership) artinya pada satu sisi Islam mengakui kepemilikan pribadi, sisi yang lain Islam juga mengakui keberadaan kepemilikan umum (kolektif) dan negara.
Islam memberikan kebebasan setiap individu untuk memiliki harta benda, akan tetapi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang dibatasi kaidah-kaidah syara’. Harta dalam pandangan Islam adalah sebatas amanah Allah swt. manusia hanya berhak menggunakannya. Milik mutlak hanya milik Allah swt. Oleh karena itu, segala bentuk aktivitas ekonomi dalam kaitannya memperoleh harta, Islam mengajarkan prinsip-prinsip “Tawazun”, sehingga eksistensi menusia dibumi hanya akan bernilai, jika seluruh aktivitasnya semata-mata didesikasikan untuk Allah swt.
Dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah : 29, Allah swt berfirman :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(البقرة : 29)
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 29).

Dengan demikian, pandangan Karl Marx yang menyatakan penghapusan kepemilikan pribadi adalah bertentangan dengan pandangan Islam. penghapusan kepemilikan pribadi sebagai sumber terjadinya alienasi dan eksploitasi adalah bertentangan dengan fitrah manusia. setiap manusia ketika dilahirkan diberikan hak dan preferensi masing-masing untuk memiliki harta. Oleh karena itu sangat tidak adil, menakala hak dan preferensi-preferensi tersebut dihapuskan.
Jika alienasi kaum buruh benar-benar disebabkan oleh kepemilikan pribadi, mungkin konsep penghapusan kepemilikan tersebut bisa diterima. Namun, pada kenyataannya kepemilikan hanyalah salah satu faktor penyebab alienasi. Kuasa dari prilaku individu-individu yang ambisius untuk menguntungkan pribadi dan prilaku penguasa dan negara, mungkin lebih tepat sebagai penyebab alienasi.
Islam menghadapi kenyataan tersebut, berpandangan bahwa bukan sistemnya penyebab alienasi dalam masyarakat, namun perilaku-perilaku individu yang cenderung untuk tidak adil dan mementingkan diri sendiri penyebab alienasi. Dengan demikian, dalam hal kepemilikan pribadi, Islam menawarkan konsep pembatasan dalam pengelolaan kepemilikan pribadi, bukan dengan merampas kepemilikan tersebut. Inilah yang membedakan kerangka pikir Karl Marx dengan Islam. Pandangan Karl Marx tersebut mengindikasikan betapa Karl Marx sangat tidak percaya terhadap individu untuk mengelola harta. Sehingga Karl Marx berpendapat, kepemilikan kolektiflah yang mengatasi problem keterasingan, penindasan dan diskriminasi kelas.